sekretariat@stikestelogorejo.ac.id (024) 76632823 +62 858-7599-4522

Pengaruh Resiliensi Pada Pasien TB Paru untuk Mencapai Kualitas Hidup Lebih Baik

Oleh : Ns. Suksi Riani, M. Kep, Dosen S1 Keperawatan STIKES Telogorejo Semarang

Pandemi COVID-19 yang berlangsung hampir 3 tahun belakangan membuat pasien TB paru hidup dalam ketakutan. Hal ini tentu saja membuat kualitas hidup mereka menurun sehingga risiko tertular pun semakin besar. Ditambah stigma sosial terhadap pasien TB, tidak heran bila angka kematian akibat penyakit ini cukup tinggi.

Mengenal Penyakit TB Paru

Tuberkulosis atau TBC disebabkan oleh bakteri (mycobacterium tubercolusis) dan menimbulkan infeksi. Sampai detik ini, TB masih menjadi penyakit paling berbahaya di dunia dan menjadi penyebab kematian terbesar di beberapa negara. Menurut data WHO, setiap tahunsekitar 1,5 juta orang meninggal karena penyakit ini.

Sebagian besar penyakit TB menyerang paru-paru. Pasien yang dideteksi memiliki penyakit ini biasanya akan mengalami batuk, demam, berkeringat di malam hari, kehilangan nafsu makan, berat badan turun, dan mengalami kelelahan akut. TB sendiri termasuk penyakit yang bisa diobati.

Namun jika TB terjadi pada pasien HIV positif, harapan hidup pasien tersebut cenderung rendah dan memiliki risiko kematian sangat tinggi. Dalam proses penanganan secara medis, TB membutuhkan terapi dan pengobatan secara intensif. Bahkan ketika sebuah kasus TB ditemukan, pihak-pihak terkait harus segera melakukan penanganan untuk mencegah penyebaran penyakit ini.

Kegiatan penemuan orang-orang yang tertular biasanya terdiri dari penjaringan terduga, diagnosa, bagaimana cara penularan TBC, penentuan klasifikasi TB, dan tipe penderita. Proses ini tidak boleh diabaikan dan tidak bisa dieliminasi salah satunya, terutama ketika pasien yang terlibat adalah penderita TB tipe menular.

Stigma Sosial Pasien TB Paru

Dalam kehidupan bermasyarakat, posisi TB sebagai penyakit masih dianggap sebelah mata. Penyakit ini identik dengan masalah masyarakat menengah ke bawah. Banyak yang menganggap bahwa TB disebabkan oleh kurangnya gizi dan buruknya sirkulasi udara tempat tinggal warga tidak mampu.

Inilah mengapa banyak yang ragu bahkan enggan melakukan pemeriksaan TB ketika mengalami gejala. Padahal sama seperti penyakit lain, TB bisa menyerang siapapun. Bakteri mycobacterium tubercolusis bisa berkembang di mana saja termasuk di lingkungan yang bersih dan memiliki sirkulasi udara baik

Stigma negatif membuat penanganan isu TB semakin sulit. Tidak hanya lingkungan sosial, stigma negatif tentang penyakit TB paru juga masih sering terjadi di lingkungan kerja dan sekolah. Situasi ini adalah penghambat eksternal dan internal bagi pasien TB untuk mendapatkan hak atau mengakses layanan kesehatan tepat.

Untuk mengatasi hal ini, pemerintah memiliki enam strategi pembangunan kesehatan nasional dalam upayanya mengeliminasi TBC pada tahun 2030. Salah satu poinnya menyebutkan bahwa akses layanan TB bermutu dan berpihak pada pasien harus ditingkatkan.

Diakui atau tidak, upaya tersebut cukup membantu proses pemulihan pasien dan meningkatkan kemampuan resiliensi mereka.

Pengaruh Resiliensi Pada Pasien TB Paru

Secara bahasa, resiliensi merupakan kemampuan untuk kembali pulih dari suatu kondisi dan mampu beradaptasi dengan hal tersebut. Dalam kasus TB, penderita yang mengidap penyakit ini perlu memiliki resiliensi untuk kembali sehat selain upaya medis.

Sebuah penelitian menyebutkan, keinginan kuat dalam diri seseorang untuk bisa sembuh dari penyakitnya merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi cepat tidaknya mereka pulih dari penyakit tersebut. Inilah mengapa resiliensi pada pasien TB dianggap mampu meningkatkan kualitas hidup.

Selain resiliensi, dibutuhkan pula dukungan keluarga dan lingkungan. Hal ini bisa dimulai dengan mengabaikan stigma negatif tentang TB. Meskipun tidak mudah, sosialisasi tentang cara penularan TBC perlu dilakukan supaya masyarakat tidak lagi memandang pasien TB sebelah mata.

Dukungan masyarakat kepada pasien TB akan jadi salah satu cara mengobati TBC efektif. Bagaimana tidak, ketika stigma negatif berkurang pasien TB akan lebih percaya diri untuk mengakui penyakitnya dan mendapatkan layanan kesehatan yang tepat untuk penyembuhan.

Dari sini efek domino pun tercipta. Pasien yang mengakui bahwa mereka menderita TB dan mendapat perawatan medis akan menjadi sumber informasi penting untuk pemerintah. Hal ini akan membuat penyebaran TB di lingkungan sosial pasien bisa dicegah atau bahkan ditanggulangi dengan baik.

Pada dasarnya, semua penyakit dapat disembuhkan termasuk TB paru. Jadi bukan saatnya lagi memandang pasien TBC sebagai aib dan dukung mereka agar memiliki resiliensi yang membuat kualitas hidup pasien semakin membaik.

Semoga bermanfaat

Referensi:

Related Posts

Leave a Reply

Arsip Informasi